Senin, 28 Januari 2019

Fitofarmaka

Pengertian Fitofarmaka


Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ).
Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilimiah.
Dasar pengembangan fitofarmaka
  1. Pedoman pengembangan Fitofarmaka
  • Kep. Menkes RI No.760/MENKES/SK/IX/1992 ttg Pedoman Fitofarmaka
  • SK Menkes RI No. 0584/MENKES/SK/VI/1995 ttg Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional
  • Kep. Menkes RI no.56/MENKES/SK/I/2000 ttg Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional
  • Kep. Kepala Badan POM RI no : HK.00.05.4.1380 tgl 2 Maret 2005 ttg Pedoman CPOTB
  1. Dasar Pemikiran pengembangan Obat Tradisional menjadi Fitofarmaka
          Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.
  1. Proses standarisasi fitofarmaka
    1. Kriteria Fitofarmaka
    2. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
    3. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
    4. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
    5. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
  1. Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI)
    1. Tahap seleksi                                                                                      Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas sebagai berikut:
  •  Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
  • Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
  • Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
  1.   Tahap biological screening, untuk menyaring :
  • Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat terapetik (pra klinik in vivo)
  • Ada/ tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut (pra klinik, in vivo)
  1. Tahap penelitian farmakodinamik
  • Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem biologis organ tubuh
  • Pra klinik, in vivo dan in vitro,
  • Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
  1. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses)
  • Toksisitas Subkronis
  • Toksisitas akut
  • Toksisitas khas/ khusus
  1. Tahap pengembangan sediaan (formulasi)
  • Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan estetika untuk pemakaian pada manusia.
Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
– Teknologi farmasi tahap awal
– Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
– Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA
  1. Tahap uji klinik pada manusia
Ada 4 fase yaitu:
Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat
Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.
Yang terlibat dalam pengujian
  • Komisi Ahli Uji Fitofarmaka : menyusun & mengusulkan protokol uji fitofarmaka
  • Sentra Uji Fitofarmaka : Instalasi pelayanan, spt Rumah Sakit, Laboratorium Pengujian atau lembaga penelitian kesehatan
  • Pelaksana Uji Fitofarmaka : Tim multidisipliner yg tdd dokter,apoteker dan tenaga ahli lainnya yg mempunyai fasilitas, bersedia serta mampu melaksanakan uji fitofarmaka
  1. Keuntungan Strandarisasi Fitofarmaka :
  • Menghasilkan efek terapetik yang konsisten, reproducible & derajat keamanannya tinggi (dosis terkontrol).
  • Semakin banyak obat tradisional dengan efikasi klinis yang dapat diuji pra klinik maupun klinik.
  • Kebanyakan uji klinik telah menggunakan ekstrak terstandar.
2.4  Jenis Uji Fitofarmaka
  1. Uji toksisitas
Uji toksisitas dibedakan menjadi tiga :
  • Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies hewan uji). pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute pemberian (misalnya oral dan intravena). hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi) pada manusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh pemerian dosis tersebut)
– Uji Toksisitas Sub Akut
Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ sasaran tempat kerja dari obat tersebut, pengujian selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan uji, menggunakan 3 dosis yang berbeda. toksisitas sub-akut sebagai adanya perubahan berat badan serta perubahan lainnya dari hewan percobaan.
– Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujian ini dilakukan selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan pengerat). uji ini dilakukan apabila obat itu nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu yang cukup panjang. 
  1. Uji farmakodinamik/efek farmakologik
Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh farmakologik pada berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.
Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat untuk lebih lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
  1. Uji klinik
Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit.
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
– Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
– Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar